Senin, 30 April 2012

Masalah Pendidikan di Indonesia


  Masalah Pendidikan di Indonesia


Peran Pendidikan dalam Pembangunan


Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini. 

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan


Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten. 

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global. 

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas


”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. 

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan


Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***

sumber

Kamis, 19 April 2012

teori kepemimpinan contigensi yetton parth goal contoh kasus


Teori Kepemimpinan Fiedler (Contigensi of Leadhership)
Pada dasarnya, teori ini menyatakan bahwa efektivitas suatu kelompok atau organisasi tergantung pada interaksi antara kepribadian pemimpin dan situasi. Situasi dirumuskan dengan dua karakteristik:
  1. Derajat situasi di mana pemimpin menguasai, mengendalikan dan mempengaruhi situasi
  2. Derajat situasi yang menghadapkan manajer dengan ketidakpastian.
Fiedler mengidentifikasikan ketiga unsur dalam situasi kerja ini untuk membantu menentukan gaya kepemimpinan mana yang akan efektif yaitu hubungan pimpinan anggota, struktur tugas, dan posisi kekuasaan pemimpin yang didapatkan dari wewenang formal. Studi Fiedler ini tidak melibatkan variabel-variabel situasional lainnya, seperti motivasi dan nilai-nilai bawahan, pengalaman pemimpin dan anggota kelompok.
Teori kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (group task situation) dan tingkat-tingkat daripada gaya kepemimpinannya, kepribadiannya dan pendekatannya yang sesuai dengan kelompoknya. Dengan perkataan lain, menurut Fiedler, seorang menjadi pemimpin bukan karena sifat-sifat daripada kepribadiannya, tetapi karena berbagai faktor situasi dan adanya interaksi antara Pemimpin dan situasinya.
Model Contingency dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967) . Menurut model ini, maka the performance of the group is contingen upon both the motivasional system of the leader and the degree to which the leader has control and influence in a particular situation, the situational favorableness (Fiedler, 1974:73). Dengan perkataan lain, tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh sistem motivasi dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu.
Untuk menilai sistem motivasi dari pemimpin, pemimpin harus mengisi suatu skala sikap dalam bentuk skala semantic differential, suatu skala yang terdiri dari 16 butir skala bipolar. Skor yang diperoleh menggambarkan jarak psikologis yang dirasakan oleh peminpin antara dia sendiri dengan “rekan kerja yang paling tidak disenangi” (Least Prefered Coworker = LPC). Skor LPC yang tinggi menunjukkan bahwa pemimpin melihat rekan kerja yang paling tidak disenangi dalam suasana menyenangkan. Dikatakan bahwa pemimpin dengan skor LPC yang tinggi ini berorientasi ke hubungan (relationship oriented). Sebaliknya skor LPC yang rendah menunjukkan derajat kesiapan pemimpin untuk menolak mereka yang dianggap tidak dapat bekerja sama. Pemimpin demikian, lebih berorientasi ke terlaksananya tugas (task oriented). Fiedler menyimpulkan bahwa:
Pemimpin dengan skor LPC rendah (pemimpin yang berorientasi ke tugas) cenderung untuk berhasil paling baik dalam situasi kelompok baik yang menguntungkan, maupun yang sangat tidak menguntungkan pemimpin.
Pemimpin dengan skor LPC tinggi ( pemimpin yang berorientasi ke hubungan) cenderung untuk berhasil dengan baik dalam situasi kelompok yang sederajat dengan keuntungannya.
Sedangkan untuk hal yang kedua ditentukan oleh tiga variable sitiuasi:
  1. Task structure : keadaan tugas yang di hadapi apakah structured task atau unstructured task
  2. Leader member relationship : hubungan antara pemimpin dengan bawahan, apakah kuat (saling percaya, saling menghargai)
  3. Position power : ukuran actual pemimpin, ada beberapa power yaitu :
  • Legitimate power : adanya kekuatan legal pemimpin
  • Reward power : kekuatan yang berasal imbalan yang di berikan pemimpin
  • Coersive power : kekuatan pemimpin dalam memberikan ancaman
  • Expert power : kekuatan yang muncul karena keahlian pemimpinanya
  • Referent power : kekuatan yang muncul karena bawahan menyukai pemimpinanya
  • Information power : pemimpin mempunyai informasi yang lebih dari bawahannya

        TEORI KEPEMIMPINAN NORMATIVE VROOM & YETTON

November 16th, 2009 • RelatedFiled Under
Teori kepemimpinan Vroom&Yetton ini merupakan salah satu teori contingency. Teori ini dikembangkan oleh Vroom & Yetton (1973) dan disebut juga sebagai model normatif tentang kepemimpinan, karena mengarah kepada pemberian suatu rekomendasi tentang gaya kepemimpinan yang sebaiknya digunakan dalam situasi tertentu, yang berfokus pada tingkat partisipasi yang diperbolehkan oleh pemimpin dalam pengambilan keputusan dan seleksi pendekatan yang akan memaksimalkan manfaat yang akan didapat kelompok dan pada waktu yang bersamaan, meminimalisasi gangguan pencapaian tujuan kelompok. Model yang menjelaskan bagaimana seorang pemimpin harus memimpin dalam berbagai situasi. Model ini menunjukan bahwa tidak ada corak kepemimpinan tunggal yg dapat diterapkan pada semua situasi.
Pada hakikatnya, model ini dapat digunakan sebagai alat untuk:
a. Membantu mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan secara berkelompok (group problem-solving situations)
b. Menyarankan gaya-gaya kepemimpinan mana yang dianggap layak untuk setiap situasi. Ada tiga parameter yang penting yaitu: (1) klasifikasi gaya kepemimpinan; (2) kriteria efektivitas keputusan; (3) kriteria penemukenalan jenis situasi pemecahan persoalan.
Lima pola umum Gaya Kepemimpinan dalam Pengambilan Keputusan (Vroom & Yetton, 1973) :
1. Autocratic I: membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang saat ini terdapat pada pemimpin.
2. Autocratic II: membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang terdapat pada seluruh anggota kelompok tanpa terlebih dahulu menginformasikan tujuan dari penyampaian informasi yang mereka berikan.
3. Consultative I: berbagi akan masalah yang ada dengan individu yang relevan, mengetahui ide-ide dan saran mereka tanpa melibatkan mereka ke dalam kelompok; lalu membuat keputusan.
4. Consultative II: berbagi masalah dengan kelompok, mendapatkan ide-ide dan saran mereka saat diskusi kelompok berlangsung, dan kemudian membuat keputusan.
5. Group II: berbagi masalah yang ada dengan kelompok, mengepalai diskusi kelompok, serta menerima dan menerapkan keputusan apapun yang dibuat oleh kelompok.
Salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal, teori path-goal adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.
 
Dasar teori ini merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan.

Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).

Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang
(1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan
(2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).
Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.

Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness).

Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi

KOMPAS.com — Perusahaan teknologi asal Jepang, Sony Corp, menyatakan akan memangkas 10.000 karyawan atau sekitar 6 persen dari angkatan kerja global. Pemutusan hubungan kerja (PHK) ini merupakan imbas dari kerugian besar yang dialami dari bisnis televisi Sony.

Hal ini disampaikan CEO Sony Corp, Kazuo Hirai, dalam sebuah konferensi pers yang diadakan pada Kamis (12/4/2012). Menurut Hirai, kerugian Sony sudah terjadi selama empat tahun berturut-turut dengan total 520 miliar dollar AS.

"Sebagai CEO, saya mengambil keputusan ini dengan serius. Pada saat yang sama, keputusan ini memperkuat tekad saya untuk mengubah Sony. Karyawan juga ingin Sony kembali pada kejayaan," ungkap Hirai dalam jumpa pers.

Sony, yang menjalankan bisnis kamera digital dan komputer pribadi serta konsol game Play Station, telah terpukul dari kompetitor sekelas Apple dan Samsung Electronics. Selama empat tahun terakhir, Sony mengalami gangguan produksi, ditambah bencana banjir yang melanda Thailand. Bencana ini sangat berpengaruh terhadap pasokan manufaktur Sony.

"Sony akan berubah. Saya telah sepenuhnya mengabdikan diri untuk mengubah Sony," ungkap lelaki berusia 51 tahun ini.

Hirai menambahkan, setelah PHK ini, Sony akan fokus kepada industri kamera digital, game, dan smartphone. Sony juga berencana untuk memperluas bisnis peralatan medis, seperti produk endoskopi dan akan memasuki bisnis diagnosis medis.

Sony juga akan menargetkan pertumbuhan baru di pasar negara berkembang, seperti India dan Meksiko, serta menargetkan pendapatan 2,6 triliun yen hingga Maret 2015. Secara global, Sony menargetkan pendapatan 8,5 triliun yen hingga Maret 2015.

Hingga Februari 2012, Sony masih mengalami kerugian bersih sebesar 220 miliar yen. Sony memprediksi, mereka akan kembali ke laba operasional sekitar 180 miliar yen hingga Maret 2013.

Setelah pengumuman PHK ini, Sony akan merilis pendapatan dan perkiraan pendapatan pada Mei 2012.

Rabu, 11 April 2012

menimbang kepemimpinan megawati

Perbincangan mengenai Megawati Soekarnoputri memang tidak akan pernah habis. Sebagai putri mantan Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, ia memang layak dibicarakan. Sebagai manta Presiden Republik Indonesia,dan Ketua Umum Partai PDI-P ia memang jadi centre point. Maka dari itu telah ratusan atau bahkan ribuan tulisan tentang dirinya, mengulas hal jelak ataupun baik. Kepemimpinan Megawati telah dirasakan rakyat Indonesia. Sejak ia menjadi wakil presiden dan kemudian menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid menjadi presiden Republik Indonesia.

Megawati juga akan kembali bertarung merebut kursi presiden Republik Indonesia. Banyak yang optimis Megawati akan kembali mendapatkan posisi puncak di negeri ini. Tetapi banyak pula yang yakin, bahwa ia akan segera terlempar dari kancah perpolitikan Indonesia pasca tahun 2004. Dan itu terbukti setelah kekalahan pada pilpres tahun 2004 yang lalu, Megawati yang kembali mencalonkan diri sebagai Calon Presiden 2009-2010 di dampingi dengan Prabowo Subianto kalah telak oleh lawan politiknya Susilo Bambang Yudhoyono yang bersanding dengan Boediono. Penilaian ini didasari karena Megawati dinilai tidak mempunyai sifat-sifat kepemimpinan yang mampu membawa Indonesia keluar dari multi krisis ini.

Megawati memang seorang mantan presiden. Tetapi apakah dia memang seorang pemimpin sejati. Pertanyaan itulah yang ingin dikupas dalam tulisan ini. Teori kepemimpinan yang melekat pada diri Megawati dapat dianalisis sebagai teori kepemimpinan tradisional dan teori kepemimpinan “sifat tersendiri”. Pendekatan teori kepemimpinan tradisional karena Megawati mewarisi sifat kepemimpinan Soekarno.

Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia masih melihat bahwa Megawati akan berwujud seperti Soekarno. Ekspektasi (pengharapan) masyarakat terhadap kepemimpinan gaya Soekarno tercurah pada Megawati. Karena itu tak heran jika Megawati didukung habis-habisan oleh kalangan penganut Soekarnois.

Sedangkan pendekatan teori kepemimpinan “sifat tersendiri” adalah bahwa pemimpin berbeda dengan massa rakyat karena mereka memiliki ciri atau “sifat tersendiri” yang sangat dihargai. Teori ini memunculkan teori “orang besar” yakni orang yang memiliki keinginan, sifat, dan kemampuan untuk melakukan hal-hal yang besar. Contoh orang-orang yang masuk dalam teori ini adalah Napoleon Bonaparte dan Mahatma Gandhi. Varian dari teori ini memunculkan tiga ciri yakni; manusia ulung yang menghancurkan kaidah-kaidah tradisional dan menciptakan suatu nilai-nilai baru bagi suatu bangsa, pahlawan yang mengabdikan dirinya untuk tujuan yang besar dan mulia, serta pangeran yang termotivasi oleh hasrat untuk mendominasi pangeran-pangeran lainnya (Nimmo, 1999:39).

Dari segi kepemimpinan, tampaknya Megawati perlu mengubah pola kepemimpinannya , jika ingin partainya memenangkan pemilu 2014. Selama ini, gaya kepemimpinan Megawati terkesan tanpa arah yang jelas. Yang terjadi hanyalah sekedar mempertahankan dan mengamankan kepemimpinan politiknya dalam jangka pendek. Megawati dapat dikatakan masuk dalam salah satu varian teori kepemimpinan “sifat tersendiri”. Lihat saja, Megawati dan partainya menjadi sasaran utama rezim orde baru. Ini dapat dianggap sebagai kegiatan dari varian pertama dimana seorang pemimpin menghancurkan kaidah-kaidah tradisional dan menciptakan suatu nilai-nilai baru bagi suatu bangsa.\

Selain dua teori kepemimpinan diatas, kepemimpinan Megawati terasa lebih kuat kecenderungannya pada teori kepemimpinan situsionalis. Teori kepemimpinan situsionalis menyebutkan bahwa waktu, tempat, dan keadaan menentukan siapa yang memimpin dan siapa pengikut. Megawati hadir ketika masyarakat Indonesia sudah jenuh dengan gaya kepemimpinan orde baru Presiden Soeharto. Ketika emosi masyarakat meledak-ledak, Megawati muncul dengan PDI-Perjuangan. Dia beridiom bahwa partainya merupakan partai wong cilik.

Masyarakat terenggut simpati. PDI-Perjuangan memperoleh dukungan mayoritas dari rakyat Indonesia pada pemilu 1999. Dan, Megawati dihantarkan duduk menjadi pemimpin bangsa ini.
Realitas empirik membuktikan, Megawati yang memiliki kharisma sebagai putri pertama Proklamator Bung Karno, adalah tokoh pemberani yang paling berpengaruh melawan tindakan tidak demokratis dari pemerintah yang cenderung otoriter ketika itu. Saat tokoh-tokoh nasional (termasuk yang kemudian menjadi tokoh dan pahlawan reformasi) masih membungkuk-bungkuk di hadapan Pak Harto, Megawati dengan caranya sendiri, tanpa banyak bicara, secara konsisten telah berani melawan tanpa kekerasan. Dia menempuh jalan demokrasi dan hukum.

Saat tokoh yang lain masih membeo atau diam pasif tak berani, Megawati yang dikekang tampil berani menghadapi berbagai tantangan dan risiko memasuki gelanggang politik dengan segala kemampuan dan keterbatasannya. Dia all out dengan keyakinan untuk menegakkan demokrasi dan reformasi di NKRI ini, tanpa kekerasan dan tanpa balas dendam. (Sikap tanpa balas dendamnya telah pula kemudian disalahartikan banyak politisi dan pengamat sebagai kelemahan untuk merongrong kepemimpinannya).

Cobalah kita sejenak menoleh ke belakang. Siapa-siapa tokoh yang berani melawan Pak Harto sebelum Megawati memukul genderang perlawanan terbuka pada Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya tahun 1993? Hanya sedikit tokoh yang berani bertindak dan bersuara melawan kehendak pemerintah ketika itu. 

Barulah setelah Megawati mengadakan perlawanan terbuka terhadap kekuasaan yang represif, nyali tokoh-tokoh lainnya mulai bangkit. Sebagian pada mulanya ikut menambangi, mensupport dan membela perjuangan (perlawanan) Megawati. Dia telah menjadi simbol dan inspirasi perlawanan terhadap kekuasaan yang cenderung otoriter ketika itu. Bukan hanya politisi yang mulai terinspirasi dan terpicu keberaniannya ketika itu, tetapi juga para pengamat yang sebelumnya bungkam atau malah memuja-muji, juga para pengacara dan mahasiswa.

Mereka yang satu garis perjuangan atau tidak dengan Megawati, terinspirasi untuk bangkit bersama. Mereka berkumpul dan berani berorasi menumpahkan segala kemarahan terhadap penguasa yang represif di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta. Keberanian yang dibayar mahal, karena kantor itu diserang aparat dan orang-orang tertentu atas kehendak penguasa. Peristiwa tahun 1996 itu, kemudian dikenal dengan sebutan Kudatuli (Kasus 27 Juli).
Peristiwa itu, tak menyurutkan perlawanan Megawati. Dia sangat sadar bahwa dibutuhkan seorang pemimpin sebagai simbol perlawanan untuk menegakkan demokrasi, keadilan dan kesejahteraan rakyat di negeri ini. Jika dia surut, gerbong perlawanan yang sudah makin membesar di belakangnya itu pun akan berhenti. Jika gerbong perlawanan itu berhenti, maka reformasi pun tidak akan terjadi. Maka dia pun terus berjuang dengan caranya yang tidak banyak bicara, tapi terus melangkah maju ke medan tempur sesengit apa pun dan menghadapi risiko apa pun itu. Dia kuat bahkan sungguh kuat. Dia perempuan keibuan berjiwa emas dan berhati baja.

Kini setelah Megawati memimpin negeri ini, masih layakkah dia kembali memimpin? Survei opini publik yang dilakukan International Foundation for Election System (IFES) tahun 2003 menunjukkan bahwa Megawati masih didambakan menjadi presiden pada tahun 2004 dengan memperoleh dukungan dari responden sebanyak 13,7 %. Dibawah Megawati muncul sejumlah nama seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Abdurrahman Wahid, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra. Dari hasil survei ini pula terlihat bahwa Megawati lebih banyak dipilih di kalangan rural (pedesaan) ketimbang di kalangan urban (perkotaan).
Inilah yang kemudian membedakan pemimpin dengan orang lain atau masyarakat biasa. Dengan sindroma yang dimilikinya, misalnya, pemimpin itu bisa menonjol karena lebih tinggi, lebih besar, lebih bersemangat, lebih pintar, percaya diri, tenang dan sebagainya. Selain itu, pemimpin juga harus merefleksikan interaksi kepribadian pada kepemimpinannya dengan kebutuhan dan pengharapan para pengikutnya.

Referensi